BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kenapa orang
yang rajin beribadah ritual, seperti shalat lima waktu, puasa dan bahkan sudah
naik haji, akan tetapi kurang memiliki kepekaan sosial yang tinggi? Dia tidak sensitif melihat
tetangganya yang kekurangan dan ketika dia dipinjam uang untuk keperluan
saudaranya yang cukup mendesak, dia tidak mau menolongnya.
Bagaimana
tentang kondisi sosial sebagian masyarakat kita yang cenderung anarkis dan
represif dalam menyikapi isu-isu keagamaan dan perilaku keagamaan yang menyimpang,
penyerangan terhadap tempat ibadah salah satu organisasi masyarakat yang
berbeda dengan pemahaman mereka. Sampai penutupan warung yang dianggap remang-remang dengan
membakar dan menghancurkannya dengan cara yang tidak berprikemanusiaan.
Munculnya kelompok-kelompok yang
dibangun atas dasar kebencian dan dan hasrat binatang menjadi semakin liar
ditengah masyarakat. Mereka mengisukan melawan ketidakadilan, sekularisme,
ateisme dan sifat kemungkaran lainnya dengan cara kekerasan. Sehingga agama
menjadi momok yang menakutkan dan terkesan jauh dari tujuan awal didirikan.
Atas 2 hal
tersebut bila kita menilai,
agama itu tidak hanya terdiri dari dimensi ritual saja. Akan tetapi
keberagamaan itu harus mencakup berbagai dimensi. Dimensi ritual menjadi satu
dari bagian dimensi-dimensi keberagamaan. Jadi apabila seseorang yang rajin
melakukan ritual keagamaan namun tidak memiliki kepekaan sosial yang tinggi,
berarti ia belum menjalankan agama secara keseluruhan.
B.
Rumusan
Masalah
Beberapa rumusan masalah ini dibuat
agar pembahasan makalah ini dibatasi hanya pada hal-hal berikut:
1.
Apa
Saja dimensi-dimensi agama ?
2.
bagaimana
cara kerjanya dalam pendekatan memahami agama?
3. Apa dimensi-dimensi dalam agama
Islam?
BAB II
PEMBAHASN
A.
Macam-Macam Dimensi Agama
Ninian Smart dalam menganalisis
dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali
dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian
Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind menyebutkan, bahwa
dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu:
1. Dimensi praktis atau ritual
2. Naratif atau mistis (Narrative and
Mythic)
3. Pengalaman dan emosional
(Experiential and emotional)
4. Dimensi sosial atau
organisasional/institusional (Social and Institutional)
5. Etis atau legal (Ethical and legal)
6. Doktrinal atau filosofis (Doctrinal
and philosophical)
7. Material/bahan.
Dimensi pertama adalah dimensi
praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar,
pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang
berkenaan dengan ritualiatas agama.
Dimensi kedua,
emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut
agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa
yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan
dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada
pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain
yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.
Dimensi ketiga,
naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk
direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan
ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang
bersangkutan.
Dimensi keempat, filosofis-doktrinal
adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan
penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan
pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu..
Dimensi kelima, legal-etis
menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan
norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan sistem
penghukuman kalau terjadi pelanggaran.
Dimensi keenam, sosial-institusional
mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan
dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi
material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau
untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan,
tempat-tempat ibadah.
Dan dimensi
ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan seperti bangunan, seni ukir dan
beberapa kreasi lainnya. Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam
perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di
mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi
filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan)
kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini
berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi
filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar
diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic
et nunc”, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena
menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu)
untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama
primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman
kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif
lebih banyak tabu, larangan, dan perintah.
Perbedaan agama primitif dan agama
kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu
sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan
nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap
relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja.
Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan
masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan
teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi
filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.
Sebagai seorang
fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart mengidentifikasikan tujuh
dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi
historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan
pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam
agama yang ada.[1]
Rumusan Ninian Smart tentang dimensi
agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono
Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya
tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi
religiositas sebagai berikut:
1.
Dimensi pengalaman keagamaan mencakup
semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan
realitas supernatural.
2.
Dimensi ideology mencakup satu set
kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian.
3.
Dimensi ritual mencakup semua
aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai
kewajiban agama.
4.
Dimensi
intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan
agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham
langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5.
Dimensi
consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan
pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua
perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.[2]
B.
Dimensi-dimensi
Agama dalam Konsep Islam
Menurut Jamaluddin Ancok lima dimensi di atas bisa disejajarkan dengan konsep
Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa
disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa
disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran
Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena
pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih
dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi
tasawuf atau dimensi mistik.
Dimensi
Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang
harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai
kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama
satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam
dimensi akidah.
Akidah
Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya
melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan
sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang
berjumlah enam.
Dimensi
Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang
disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang
dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di
sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada
perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah
dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama.
Dimensi Konsekuensial menunjuk pada
konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum
yang tidak secara langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam
dimensi ritualis. Walaupun
begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada
umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga,
menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat
baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.
Menurut Nasution tujuan ibadah atau ritual
dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk
mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang
baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada
sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
Dimensi
Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan
keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan
(religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa
pada suatu keyakinan. Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling
sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah
menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan
Ramadlan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah
seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah
dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga,
jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun,
Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan
‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai
perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih
didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan
dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Dimensi
Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus
diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang
berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi
dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan
muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah
dan peradaban masyarakat Islam.[3]
BAB
III
PENGAKIRAN
A.
Kesimpulan
Agama itu tidak hanya mencakup satu
dimensi ritual saja, namun satu dimensi agama berjalan kelindan dengan berbagai
dimensi lainnya yang saling berkaitan erat, seperti dimensi praktis atau
ritual, naratif atau mistis (Narrative and Mythic), pengalaman dan emosional
(Experiential and emotional), dimensi sosial atau organisasional/institusional
(Social and Institutional), etis atau legal (Ethical and legal), doktrinal atau
filosofis (Doctrinal and philosophical), dan material/bahan. Jika hanya salah
satu saja yang menjadi “andalan” beragama bagi seseorang, maka orang tersebut
belum beragama secara utuh, hanya parsial saja.
B.
Penutup
Alhamdulillah,
dengan segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena berkat
rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang
berjudul “Dimensi-Dimensi Agama.
Kami telah berupaya
semaksimal mungkin dengan segala kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih
jauh dalam kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis
harapkan khususnya kepada para pembaca.
Kami
berdo’a semoga makalah ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT selalu
menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. Amin Ya Robbal Alamin.
DAFTAR PUSTAKA
http://www.en.wikipedia.org/wiki/Ninian_Smart.
tanggal 9 April
2013 Pukul : 14.45.
Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan
Agama Cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Koentjoroningrat. 1982. Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Gramedia
Ninian Smart. 1989. The
World Religions; Old Traditions and Modern Transformation. London : Cambridge University Press.
0 komentar:
Posting Komentar