368x60px

Labels

Blogger news

Rabu, 10 Juli 2013

ddd


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kenapa orang yang rajin beribadah ritual, seperti shalat lima waktu, puasa dan bahkan sudah naik haji, akan tetapi kurang memiliki kepekaan sosial yang tinggi? Dia tidak sensitif melihat tetangganya yang kekurangan dan ketika dia dipinjam uang untuk keperluan saudaranya yang cukup mendesak, dia tidak mau menolongnya.
Bagaimana tentang kondisi sosial sebagian masyarakat kita yang cenderung anarkis dan represif dalam menyikapi isu-isu keagamaan dan perilaku keagamaan yang menyimpang, penyerangan terhadap tempat ibadah salah satu organisasi masyarakat yang berbeda dengan pemahaman mereka. Sampai penutupan warung yang dianggap remang-remang dengan membakar dan menghancurkannya dengan cara yang tidak berprikemanusiaan.
Munculnya kelompok-kelompok yang dibangun atas dasar kebencian dan dan hasrat binatang menjadi semakin liar ditengah masyarakat. Mereka mengisukan melawan ketidakadilan, sekularisme, ateisme dan sifat kemungkaran lainnya dengan cara kekerasan. Sehingga agama menjadi momok yang menakutkan dan terkesan jauh dari tujuan awal didirikan.
Atas 2 hal tersebut bila kita menilai, agama itu tidak hanya terdiri dari dimensi ritual saja. Akan tetapi keberagamaan itu harus mencakup berbagai dimensi. Dimensi ritual menjadi satu dari bagian dimensi-dimensi keberagamaan. Jadi apabila seseorang yang rajin melakukan ritual keagamaan namun tidak memiliki kepekaan sosial yang tinggi, berarti ia belum menjalankan agama secara keseluruhan.
B.     Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah ini dibuat agar pembahasan makalah ini dibatasi hanya pada hal-hal berikut:
1.      Apa Saja dimensi-dimensi agama ?
2.      bagaimana cara kerjanya dalam pendekatan memahami agama?
3.      Apa dimensi-dimensi dalam agama Islam?
BAB II
PEMBAHASN
A.    Macam-Macam Dimensi Agama

Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu:

1.      Dimensi praktis atau ritual
2.      Naratif atau mistis (Narrative and Mythic)
3.      Pengalaman dan emosional (Experiential and emotional)
4.      Dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional)
5.      Etis atau legal (Ethical and legal)
6.      Doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical)
7.      Material/bahan.

Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama.

Dimensi kedua, emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi.

Dimensi ketiga, naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan.

Dimensi keempat, filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu..

Dimensi kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan sistem penghukuman kalau terjadi pelanggaran.

Dimensi keenam, sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah.

Dan dimensi ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan seperti bangunan, seni ukir dan beberapa kreasi lainnya. Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan, dan perintah.

Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama.

Sebagai seorang fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada.[1]

Rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut:
1.         Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural.
2.         Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian.
3.         Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama.
4.         Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu.
5.         Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama.[2]
B.     Dimensi-dimensi Agama dalam Konsep Islam
Menurut Jamaluddin Ancok lima dimensi di atas bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik.
Dimensi Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah.
Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang berjumlah enam.
Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama.
Dimensi Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga, menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya.
Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad.
Menurut Nasution tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar.
Dimensi Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan. Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadlan.
Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat.
Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan.
Dimensi Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah dan peradaban masyarakat Islam.[3]
BAB III
PENGAKIRAN
A.    Kesimpulan
Agama itu tidak hanya mencakup satu dimensi ritual saja, namun satu dimensi agama berjalan kelindan dengan berbagai dimensi lainnya yang saling berkaitan erat, seperti dimensi praktis atau ritual, naratif atau mistis (Narrative and Mythic), pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), etis atau legal (Ethical and legal), doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), dan material/bahan. Jika hanya salah satu saja yang menjadi “andalan” beragama bagi seseorang, maka orang tersebut belum beragama secara utuh, hanya parsial saja.
B.     Penutup
Alhamdulillah, dengan segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Dimensi-Dimensi Agama.

Kami telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih jauh dalam kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis harapkan khususnya kepada para pembaca.
Kami berdo’a semoga makalah ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT selalu menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. Amin Ya Robbal Alamin.






DAFTAR PUSTAKA

http://www.en.wikipedia.org/wiki/Ninian_Smart. tanggal 9 April 2013 Pukul : 14.45.
Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama Cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Koentjoroningrat. 1982. Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Gramedia
Ninian Smart. 1989. The World Religions; Old Traditions and Modern Transformation. London : Cambridge University Press.



     [1] Ninian Smart, “The World Religions; Old Traditions and Modern Transformation, (London: Cambridge University Press, 1989), hlm.101-103.
     [2] Koentjoroningrat, Pokok-pokok Antropologi Sosial,( Jakarta : PT Gramedia, 1982), hlm. 65-66.
     [3] http://www.en.wikipedia.org/wiki/Ninian_Smart. tanggal 9 April 2013 Pukul : 14.45.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kenapa orang yang rajin beribadah ritual, seperti shalat lima waktu, puasa dan bahkan sudah naik haji, akan tetapi kurang memiliki kepekaan sosial yang tinggi? Dia tidak sensitif melihat tetangganya yang kekurangan dan ketika dia dipinjam uang untuk keperluan saudaranya yang cukup mendesak, dia tidak mau menolongnya. Bagaimana tentang kondisi sosial sebagian masyarakat kita yang cenderung anarkis dan represif dalam menyikapi isu-isu keagamaan dan perilaku keagamaan yang menyimpang, penyerangan terhadap tempat ibadah salah satu organisasi masyarakat yang berbeda dengan pemahaman mereka. Sampai penutupan warung yang dianggap remang-remang dengan membakar dan menghancurkannya dengan cara yang tidak berprikemanusiaan. Munculnya kelompok-kelompok yang dibangun atas dasar kebencian dan dan hasrat binatang menjadi semakin liar ditengah masyarakat. Mereka mengisukan melawan ketidakadilan, sekularisme, ateisme dan sifat kemungkaran lainnya dengan cara kekerasan. Sehingga agama menjadi momok yang menakutkan dan terkesan jauh dari tujuan awal didirikan. Atas 2 hal tersebut bila kita menilai, agama itu tidak hanya terdiri dari dimensi ritual saja. Akan tetapi keberagamaan itu harus mencakup berbagai dimensi. Dimensi ritual menjadi satu dari bagian dimensi-dimensi keberagamaan. Jadi apabila seseorang yang rajin melakukan ritual keagamaan namun tidak memiliki kepekaan sosial yang tinggi, berarti ia belum menjalankan agama secara keseluruhan. B. Rumusan Masalah Beberapa rumusan masalah ini dibuat agar pembahasan makalah ini dibatasi hanya pada hal-hal berikut: 1. Apa Saja dimensi-dimensi agama ? 2. bagaimana cara kerjanya dalam pendekatan memahami agama? 3. Apa dimensi-dimensi dalam agama Islam? BAB II PEMBAHASN A. Macam-Macam Dimensi Agama Ninian Smart dalam menganalisis dimensi agama, ia menggunakan analisis pandangan-dunia untuk menggali dimensi-dimensi agama, yang dipandang sebagai suatu pandangan-dunia. Ninian Smart dalam karyanya The Religious Experience Of Mankind menyebutkan, bahwa dimensi agama terdapat tujuh bagian, yaitu: 1. Dimensi praktis atau ritual 2. Naratif atau mistis (Narrative and Mythic) 3. Pengalaman dan emosional (Experiential and emotional) 4. Dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional) 5. Etis atau legal (Ethical and legal) 6. Doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical) 7. Material/bahan. Dimensi pertama adalah dimensi praktis-ritual yang sebagaimana tampak dalam upacara suci, perayaan hari besar, pantang dan puasa untuk pertobatan, doa, kebaktian, dan sebagainya yang berkenaan dengan ritualiatas agama. Dimensi kedua, emosional-eksperiensial menunjuk pada perasaan dan pengalaman para penganut agama, dan tentunya bervariasi. Peristiwa-peristiwa khusus, gaib, luar biasa yang dialami para penganut menimbulkan berbagai macam perasaan dari kesedihan dan kegembiraan, kekaguman dan sujud, ataupun ketakutan yang membawa pada pertobatan. Topik yang penting dalam dimensi pengalaman keagamaan antara lain yang disebut mistik, di mana si pemeluk merasakan kesatuan erat dengan ilahi. Dimensi ketiga, naratif atau mistik menyajikan kisah atau cerita-cerita suci, untuk direnungkan, dicontoh, karena di situ ditampilkan tokoh-tokoh suci, pahlawan ataupun kejadian-kejadian yang penting dalam pembentukan agama yang bersangkutan. Dimensi keempat, filosofis-doktrinal adalah dimensi agama yang menyajikan pemikiran rasional, argumentasi, dan penalaran terutama menyangkut ajaran-ajaran agama, pendasaran hidup, dan pengertian dari konsep-konsep yang dianut oleh agama itu.. Dimensi kelima, legal-etis menyangkut tata tertib hidup dalam agama itu, pengaturan bersama, dengan norma-norma dan pengaturan, tidak jarang disertai pula dengan sistem penghukuman kalau terjadi pelanggaran. Dimensi keenam, sosial-institusional mengatur kehidupan bersama menyangkut kepemerintahan keorganisasian, pemilihan dan penahbisan pemimpin, kejemaatan, dan penggembalaan. Akhirnya dimensi material menyangkut barang-barang, alat-alat yang digunakan untuk pemujaan atau untuk pelaksanaan kehidupan agama itu. Termasuk di sini bangunan-bangunan, tempat-tempat ibadah. Dan dimensi ketujuh, yaitu dimensi material dan bahan seperti bangunan, seni ukir dan beberapa kreasi lainnya. Ketujuh dimensi ini dapat diamati dan diteliti dalam perspektif pengalaman keagamaan. Akan tetapi, dalam rangka perubahan budaya dewasa ini, di mana persaingan nilai-nilai dalam masyarakat begitu gencar, maka dimensi filosofis-doktriner yang beraturan dengan fungsi apologetic (penjelasan) kiranya merupakan dimensi yang paling penting perannya. Posisi agama dewasa ini berbeda dalam dua hal dari agama-agama primitif menyangkut kepentingan dimensi filosofis-doktriner. Pertama, agama primitif lebih bersifat pragmatis, sekedar diperlukan untuk menghadapi persoalan kehidupan sehari-hari yang konkret “hic et nunc”, sementara agama dewasa ini lebih ekspansif ke masa depan karena menyangkut prospek dan proyek ke kemajuan sosial dan ke masa lampau (wahyu) untuk merenungkan asal usulnya agar tidak bergeser dari keasliannya. Bagi agama primitif, barangkali dimensi legal-etis lebih banyak diperlukan untuk pedoman kehidupan. Oleh karenanya, wajar kiranya kalau kita berkesan agama primitif lebih banyak tabu, larangan, dan perintah. Perbedaan agama primitif dan agama kekinian (dewasa ini) tidak serta merta menyudutkan agama primitive itu sendiri. Pada saat ini agama kekinian (dewasa ini) menghadapi kemajemukan nilai-nilai dalam masyarakat. Artinya, meskipun dimensi legal-etis tetap relevan, akan tetapi perintah dan larangan itu tidak dikemukakan begitu saja. Melainkan disertai dengan penjelasan nilai-nilai lain yang ditawarkan masyarakat majemuk. Dalam arti inilah agama perlu mengembangkan teologi dan teodicea yang memadai. Bidang-bidang ini kiranya merupakan bagian dari dimensi filosofis-doktiner yang perlu untuk mendukung eksistensi agama. Sebagai seorang fenomenolog dan filosof keagamaan, Ninian Smart mengidentifikasikan tujuh dimensi agama sebagai manifestasi agama, dari tataran normatif menjadi historis, yang kemudian memungkinkannya untuk melakukan semua jenis pendekatan pada studi agama, dan juga dalam cara meraih kebenaran dalam berbagai macam agama yang ada. Rumusan Ninian Smart tentang dimensi agama tersebut dapat ditemukan pula dan hampir sama dalam pandangan Sartono Kartodirjo, seorang peneliti studi agama di Indonesia, yaitu pembahasannya tentang dimensi-dimensi religiositas. Kartodirjo menyebutkan, bahwa dimensi religiositas sebagai berikut: 1. Dimensi pengalaman keagamaan mencakup semua perasaan, persepsi, dan sensasi yang dialami ketika berkomunikasi dengan realitas supernatural. 2. Dimensi ideology mencakup satu set kepercayaan terhadap makhluk gaib dan kehidupan setelah kematian. 3. Dimensi ritual mencakup semua aktivitas, seperti upacara keagamaan, berdoa, dan berpartisipasi dalam berbagai kewajiban agama. 4. Dimensi intelektual ialah berhubungan dengan pengetahuan tentang agama. Pengetahuan agama didapatkan melalui proses belajar dari pemimpin agama atau berupa ilham langsung dari Tuhan yang dipercayai sebagai wahyu. 5. Dimensi consequensial ialah mencakup semua efek dari kepercayaan, praktek, dan pengetahuan dari orang yang menjalankan agama. Dengan perkataan lain, semua perbuatan dan sikap sebagai konsekuensi beragama. B. Dimensi-dimensi Agama dalam Konsep Islam Menurut Jamaluddin Ancok lima dimensi di atas bisa disejajarkan dengan konsep Islam. Dimensi ideologis bisa disejajarkan dengan akidah, dimensi ritual bisa disejajarkan dengan syari’ah, khususnya ibadah, dan dimensi konsekuensial bisa disejajarkan dengan akhlak. Akidah, syari’ah dan akhlak adalah inti dari ajaran Islam. Dimensi intelektual mempunyai peran yang cukup penting pula karena pelaksanaan dimensi-dimensi lain sangat membutuhkan pengetahuan terlebih dahulu. Sedangkan dimensi eksperiensial dapat disejajarkan dengan dimensi tasawuf atau dimensi mistik. Dimensi Ideologis merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan apa yang harus dipercayai dan menjadi sistem keyakinan (creed). Doktrin mengenai kepercayaan atau keyakinan adalah yang paling dasar yang bisa membedakan agama satu dengan lainnya. Dalam Islam, keyakinan-keyakinan ini tertuang dalam dimensi akidah. Akidah Islam dalam istilah Al-Qur’an adalah iman. Iman tidak hanya berarti percaya melainkan keyakinan yang mendorong munculnya ucapan dan perbuatan-perbuatan sesuai dengan keyakinan tadi. Iman dalam Islam terdapat dalam rukun iman yang berjumlah enam. Dimensi Ritual merupakan bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perilaku yang disebut ritual keagamaan seperti pemujaan, ketaatan dan hal-hal lain yang dilakukan untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Perilaku di sini bukan perilaku dalam makna umum, melainkan menunjuk kepada perilaku-perilaku khusus yang ditetapkan oleh agama seperti tata cara beribadah dan ritus-ritus khusus pada hari-hari suci atau hari-hari besar agama. Dimensi Konsekuensial menunjuk pada konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh ajaran agama dalam perilaku umum yang tidak secara langsung dan khusus ditetapkan oleh agama seperti dalam dimensi ritualis. Walaupun begitu, sebenarnya banyak sekali ditemukan ajaran Islam yang mendorong kepada umatnya untuk berperilaku yang baik seperti ajaran untuk menghormati tetangga, menghormat tamu, toleran, inklusif, berbuat adil, membela kebenaran, berbuat baik kepada fakir miskin dan anak yatim, jujur dalam bekerja, dan sebagainya. Perilaku umum ini masuk dalam wilayah hubungan manusia (hablum minannas) yang mestinya harus tidak bisa dipisahkan dari hubungan kepada Allah (hablum minallah). Dalam bahasa Hassan Hanafi iman dan praksis tindakan tidak boleh dipisahkan. Iman, menurutnya bisa bertambah dan berkurang oleh tindakan-tindakan yang dilakukan seseorang. Konsekuensi tindakan ini, dalam hal-hal tertentu, terkadang lebih berat daripada keyakinan dan ritual, sehingga, menurut pendapat Asghar Ali penolakan pemuka Makkah terhadap ajaran Muhammad bukan karena semata-mata penolakan ajaran tauhidnya, tetapi lebih karena konsekuensi-konsekuensi ekonomis dan politis yang harus ditanggung dari ajaran revolusioner teologi Muhammad. Menurut Nasution tujuan ibadah atau ritual dalam Islam bukan hanya untuk menyembah Allah semata, melainkan untuk mendekatkan diri kepada Allah agar manusia selalu teringat kepada hal-hal yang baik dan suci sehingga mendorongnya untuk berperilaku yang luhur, baik kepada sesama manusia maupun kepada lingkungan alam sekitar. Dimensi Eksperiensial adalah bagian dari keberagamaan yang berkaitan dengan perasaan keagamaan seseorang. Psikologi agama menyebutnya sebagai pengalaman keagamaan (religious experience) yaitu unsur perasaan dalam kesadaran agama yang membawa pada suatu keyakinan. Pengalaman keagamaan ini bisa terjadi dari yang paling sederhana seperti merasakan kekhusukan pada waktu shalat dan ketenangan setelah menjalankannya, atau merasakan nikmat dan bahagia ketika memasuki bulan Ramadlan. Pengalaman yang lebih kompleks adalah seperti pengalaman ma’rifah (gnosis) yang dialami oleh para sufi yang sudah dalam taraf merasakan bahwa hanya Tuhanlah yang sungguh berarti, sehingga, jangankan dibanding dengan dunia seisinya, dibanding sorga seisinya pun, Rabi’ah al-Adawiyah justru lebih memilih shalat, karena dengan shalat ia akan ‘bertemu’ dan berkomunikasi dengan Tuhan. Bagi sufi setingkat Rabi’ah, komitmen menjalankan berbagai perintah agama bukan lagi karena melihatnya sebagai kewajiban, tetapi lebih didasarkan pada cinta (mahabbah) yang membara kepada Allah. Karena didasarkan dorongan cinta, maka apapun yang dilakukan terasa nikmat. Pengalaman keagamaan ini muncul dalam diri seseorang dengan tingkat keagamaan yang tinggi. Dalam Islam pola keberagamaan bisa dibedakan dari yang paling rendah yaitu syari’ah, kemudian thariqah dan derajat tertinggi adalah haqiqah. Pola keberagamaan thariqah dan haqiqah adalah pola keberagamaan tasawuf. Tasawuf bertujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Dimensi Intelektual Setiap agama memiliki sejumlah informasi khusus yang harus diketahui oleh para pemeluknya. Dalam Islam, misalnya ada informasi tentang berbagai aspek seperti pengetahuan tentang Al-qur’an dengan segala bacaan, isi dan kandungan maknanya, al-Hadits, berbagai praktek ritual atau ibadah dan muamalah, konsep keimanan, berbagai konsep dan bentuk akhlak, tasawuf, sejarah dan peradaban masyarakat Islam. BAB III PENGAKIRAN A. Kesimpulan Agama itu tidak hanya mencakup satu dimensi ritual saja, namun satu dimensi agama berjalan kelindan dengan berbagai dimensi lainnya yang saling berkaitan erat, seperti dimensi praktis atau ritual, naratif atau mistis (Narrative and Mythic), pengalaman dan emosional (Experiential and emotional), dimensi sosial atau organisasional/institusional (Social and Institutional), etis atau legal (Ethical and legal), doktrinal atau filosofis (Doctrinal and philosophical), dan material/bahan. Jika hanya salah satu saja yang menjadi “andalan” beragama bagi seseorang, maka orang tersebut belum beragama secara utuh, hanya parsial saja. B. Penutup Alhamdulillah, dengan segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat, taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Dimensi-Dimensi Agama. Kami telah berupaya semaksimal mungkin dengan segala kemampuan, namun penulis yakin hasilnya masih jauh dalam kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran selalu penulis harapkan khususnya kepada para pembaca. Kami berdo’a semoga makalah ini dapat bermanfaat dan semoga Allah SWT selalu menunjukkan kepada kita jalan yang lurus. Amin Ya Robbal Alamin. DAFTAR PUSTAKA http://www.en.wikipedia.org/wiki/Ninian_Smart. tanggal 9 April 2013 Pukul : 14.45. Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama; Perspektif Ilmu Perbandingan Agama Cet. I. Bandung: CV. Pustaka Setia. Koentjoroningrat. 1982. Pokok-pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Gramedia Ninian Smart. 1989. The World Religions; Old Traditions and Modern Transformation. London : Cambridge University Press.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Sample text

Sample Text

Sample Text

 
Blogger Templates