TASAWWUF DASAR
Tasawuf (Tasawwuf) atau Sufisme (bahasa arab: تصوف
, ) adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa,
menjernihan akhlaq, membangun dhahir dan batin, untuk memporoleh
kebahagian yang abadi. Tasawuf pada awalnya merupakan gerakan zuhud
(menjauhi hal duniawi) dalam Islam, dan dalam perkembangannya melahirkan
tradisi mistisme Islam. Tarekat (pelbagai aliran dalam Sufi) sering
dihubungkan dengan Syiah, Sunni, cabang Islam yang lain, atau kombinasi
dari beberapa tradisi. Pemikiran Sufi muncul di Timur Tengah pada abad
ke-8, sekarang tradisi ini sudah tersebar ke seluruh belahan dunia.
A. Etimologi
Ada beberapa sumber perihal etimologi dari kata "Sufi". Pandangan yang umum adalah kata itu berasal dari Suf (صوف),
bahasa Arab untuk wol, merujuk kepada jubah sederhana yang dikenakan
oleh para asetik Muslim. Namun tidak semua Sufi mengenakan jubah atau
pakaian dari wol. Teori etimologis yang lain menyatakan bahwa akar kata
dari Sufi adalah Safa (صفا),
yang berarti kemurnian. Hal ini menaruh penekanan pada Sufisme pada
kemurnian hati dan jiwa. Teori lain mengatakan bahwa tasawuf berasal
dari kata Yunani theosofie artinya ilmu ketuhanan.
Yang
lain menyarankan bahwa etimologi dari Sufi berasal dari "Ashab
al-Suffa" ("Sahabat Beranda") atau "Ahl al-Suffa" ("Orang orang
beranda"), yang mana dalah sekelompok muslim pada waktu Nabi Muhammad
yang menghabiskan waktu mereka di beranda masjid Nabi, mendedikasikan
waktunya untuk berdoa.
- Dasar Tasawuf
Nilai-nilai
ajaran tauhid, fiqih dan akhlaq sering dilihat kecenderungannya pada
bentuk formalnya saja, khususnya bidang ilmu yang mengambil bentuk
prilaku lahiriyah sebagaimana yang tampak dalam ilmu syari'at.
Formalisme dalam ritual Islam dipandang amat merugikan, maka Allah
mengingatkan kita terhadap adanya bahaya formalisme, sebagaimana firman
Allah:
وَإِنَّ رَبَّكَ لَيَعْلَمُ مَا تُكِنُّ صُدُورُهُمْ وَمَا يُعْلِنُونَ
Artinya: "Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar mengetahui apa yang disembunyikan hati mereka dan apa yang mereka nyatakan." (Q. S. 27. An-Naml, A. 74).
Ayat
yang saya tulis di atas menunjukkan pada kita bahwa formalitas belum
tentu sesuai dengan kegaiban dalam fikiran (jalan fikiran) dan kegaiban
dalam hati (niat dan hajat dalam hati). Tidak sedikit orang sholat
secara jasadi, namun hati dan fikirannya sesungguhnya bukan sedang
sholat. Banyak orang jasadnya berwudhu' (bersuci, thoharoh jasadi),
tetapi hati dan fikirannya masih dipenuhi virus-virus goibis sayithon,
seperti iri, dengki, hasad, hasud, hasumat, dendam, riya dan lain
sebagainya, dan masih banyak sederetan contoh lainnya yang dapat kita
tuliskan dari hasil pengamatan kita terhadap laku orang perorangan di
sekitar kita yang dapat kit ambil pelajaran darinya bahwa formalisme
pada hakikatnya lebih cendrung merugikan nilai-nilai spiritual kita, itu
sebabnya Allah menyatakan bahwa Dia (Allah) benar-benar mengetahui apa
yang disembunyikan hati dan apa yang mereka nyatakan.
Penekanan
pada formalisme seperti dalam ilmu syari'at ibadah yang lebih cenderung
menekankan syarat, rukun, tata tertib, sah dan batal dalam ritual
ajaran Islam dengan tanpa diiringi penghayatan di dalamnya, tidak dapat
memenuhi kebutuhan spiritual dan akhlaqul karimah untuk menjadi insanul
kamil, insanul muttaqin dan insanul muhsinin. Hal ini disebabkan karena
pengutamaan terhadap formalitas saja dapat berakibat ruh ritual ibadah
tidak dapat dirasakan, yang dirasakan hanyalah kesibukan ritual jasad
yang kering, kurang bermakna pada penjiwaan ritual pelakunya. Padahal
pengamalan ritual ajaran Islam senantiasa menuntut laku ritual secara
sadar dengan menghadirkan hati dan fikiran serta segenap jiwa dan
penjiwaan terhadap nilai-nilai ajaran Islam yang sedang diamalkan.
Karena itulah sangat diperlukan pengajaran ilmu penghayatan nilai-nilai
spiritual ajaran Islam. Tentu saja hal ini bukanlah merupakan pekerjaan
semudah membalikkan telapak tangan, tetapi diperlukan riyadhoh istiqomah
yang dilakukan dengan terus menerus secara bertahap dan
berkesinambungan. Karena pada hakikatnya Islam menginginkan keterkaitan
nilai-nilai aspek ritual jasadi dengan ritual batini.
Karena
ritual dualistis (jasadi dan batini) itulah maka tidak heran jika diri
kita senantiasa menginginkan adanya kekuatan kontak antara ritual akhlaq
jasadiyah yang lebih cenderung medium formal dengan ritual akhlaq
batini yang lebih cenderung non medium formal, sehingga menjadi suatu
kesatuan yang utuh. Dengan demikian berbagai ritual syari'at ibadah
jasadi (wudhu, puasa, infaq, shodaqoh, zakat, haji dan akhlaq fositif
lainnya) kontak dengan ritual ibadah batini terfokus dan terkonsentrasi
pada satu arah tujuan yang pasti hanya kepada Allah dan ikhlas karena
Allah yang realita ZatNya berwujud goibi, imani, hayati, maknawi, ruhani
dan nurani, bukan jasadi. Namun ritual akhlaq Islami tidaklah dilakukan
secara batini semata, tetapi juga harus diiringi dengan ritual ibadah
jasadi, kecuali dalam keadaan darurat jasadi seperti sakit dan
sebagainya yang tidak memungkinkan ritual ibadah jasadi dilakukan, maka
ritual ibadah batini sah dilaksanakan. Ritual ibadah jasadi dalam bentuk
ucapan dan ritual perbuatan nyata, di dalamnya mengandung maksud tujuan
untuk mempengaruhi batini dan menuntun aqal fikiran dan qolbi dalam
rangka upaya penghayatan terhadap ibadah yang akan, sedang dan telah
dilakukan. Dengan demikian ritual ibadah yang dilakukan itu, selain
mengandung hikmah untuk penghayatan pengabdian diri kepada Allah Zat
Yang Maha Goib, juga ritual tersebut mengandung efek kesucian jasadi wal
batini dan menjadikan pelakunya jauh dari virus-virus kemungkaran.
Dengan penghayatan spiritual seperti ini, sistem nilai yang berkaitan
dengan keimanan dan keakhlaqan berpadu utuh dengan sistem norma dalam
syari'at Islam.
Sejalan
dengan itu, Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai pedoman dan tuntunan abadi
kita sepanjang masa, pastilah di dalamnya terkandung nilai-nilai
spiritual di samping nilai-nilai lainnya. Berbagai ayat dalam Al-Qur'an
dan sabda Rasul dalam kitab Al-Hadits menunjukkan secara jelas kepada
kita bahwa nilai-nilai spiritual itu memang ada, diantaranya sebagai
berikut:
وَلِلّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّواْ فَثَمَّ وَجْهُ اللّهِ إِنَّ اللّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya:
"Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap
di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi
Maha Mengetahui." (Q. S. 2. Al-Baqoroh, A. 115).
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Artinya:
"Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka
(jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan
orang yang berdo'a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka
itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." (Q. S. 2.
Al-Baqarah, A. 186).
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya:
"Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada
urat lehernya." (Q. S. 50. Qof, A. 16).
فَوَجَدَا عَبْداً مِّنْ عِبَادِنَا آتَيْنَاهُ رَحْمَةً مِنْ عِندِنَا وَعَلَّمْنَاهُ مِن لَّدُنَّا عِلْماً
Artinya: "Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Q. S. 18. Al-Kahfi, A. 65).
Demikian juga halnya dengan Al-Hadits, diantara sekian banyak Hadits Rasul yang menjelaskan tentang nilai-nilai spiritual, yang sering kita dengan dan kita ucapkan adalah:
"Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: Pada suatu hari, Rasulullah saw. muncul di antara kaum muslimin. Lalu datang seorang laki-laki dan bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Iman itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, pertemuan dengan-Nya, rasul-rasul-Nya dan kepada hari berbangkit. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? Rasulullah saw. menjawab: Islam adalah engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun, mendirikan salat fardu, menunaikan zakat wajib dan berpuasa di bulan Ramadan. Orang itu kembali bertanya: Wahai Rasulullah, apakah Ihsan itu? Rasulullah saw. menjawab: Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya. Dan jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Dia selalu melihatmu. Orang itu bertanya lagi: Wahai Rasulullah, kapankah hari kiamat itu? Rasulullah saw. menjawab: Orang yang ditanya mengenai masalah ini tidak lebih tahu dari orang yang bertanya. Tetapi akan aku ceritakan tanda-tandanya; Apabila budak perempuan melahirkan anak tuannya, maka itulah satu di antara tandanya. Apabila orang yang miskin papa menjadi pemimpin manusia, maka itu tarmasuk di antara tandanya. Apabila para penggembala domba saling bermegah-megahan dengan gedung. Itulah sebagian dari tanda-tandanya yang lima, yang hanya diketahui oleh Allah. Kemudian Rasulullah saw. membaca firman Allah Taala: Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana ia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Kemudian orang itu berlalu, maka Rasulullah saw. bersabda: Panggillah ia kembali! Para sahabat beranjak hendak memanggilnya, tetapi mereka tidak melihat seorang pun. Rasulullah saw. bersabda: Ia adalah Jibril, ia datang untuk mengajarkan manusia masalah agama mereka." (Shahih Muslim No.10).
Nilai-nilai spiritual yang tersurat dan tersirat dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits itulah yang menjadi dalil utama keberadaan ilmu tasawuf di jagat Allah ini.
C. Sejarah paham
Banyak
pendapat pro dan kontra mengenai asal-usul ajaran tasawuf, apakah ia
berasal dari luar atau dari dalam agama Islam sendiri. Berbagai sumber
mengatakan bahwa ilmu tasauf sangat lah membingungkan.
Sebagian
pendapat mengatakan bahwa paham tasawuf merupakan paham yang sudah
berkembang sebelum Nabi Muhammad menjadi Rasulullah. Dan orang-orang
Islam baru di daerah Irak dan Iran (sekitar abad 8 Masehi) yang
sebelumnya merupakan orang-orang yang memeluk agama non Islam atau
menganut paham-paham tertentu. Meski sudah masuk Islam, hidupnya tetap
memelihara kesahajaan dan menjauhkan diri dari kemewahan dan kesenangan
keduniaan. Hal ini didorong oleh kesungguhannya untuk mengamalkan
ajarannya, yaitu dalam hidupannya sangat berendah-rendah diri dan
berhina-hina diri terhadap Tuhan. Mereka selalu mengenakan pakaian yang
pada waktu itu termasuk pakaian yang sangat sederhana, yaitu pakaian
dari kulit domba yang masih berbulu, sampai akhirnya dikenal sebagai
semacam tanda bagi penganut-penganut paham tersebut. Itulah sebabnya
maka pahamnya kemudian disebut paham sufi, sufisme atau paham tasawuf.
Sementara orang penganut paham tersebut disebut orang sufi.
Sebagian
pendapat lagi mengatakan bahwa asal-usul ajaran tasawuf berasal dari
zaman Nabi Muhammad. Berasal dari kata "beranda" (suffa), dan pelakunya
disebut dengan ahl al-suffa, seperti telah disebutkan di atas. Mereka
dianggap sebagai penanam benih paham tasawuf yang berasal dari
pengetahuan Nabi Muhammad .
Pendapat
lain menyebutkan tasawuf muncul ketika pertikaian antar umat Islam di
zaman Khalifah Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, khususnya karena
faktor politik.Pertikaian antar umat Islam karena karena faktor politik
dan perebutan kekuasaan ini terus berlangsung dimasa khalifah-khalifah
sesudah Utsman dan Ali. Munculah masyarakat yang bereaksi terhadap hal
ini. Mereka menganggap bahwa politik dan kekuasaan merupakan wilayah
yang kotor dan busuk. Mereka melakukan gerakan ‘uzlah , yaitu menarik
diri dari hingar-bingar masalah duniawi yang seringkali menipu dan
menjerumuskan. Lalu munculah gerakan tasawuf yang di pelopori oleh Hasan
Al-Bashiri pada abad kedua Hijriyah. Kemudian diikuti oleh figur-figaur
lain seperti Shafyan al-Tsauri dan Rabi’ah al-‘Adawiyah.
D. Beberapa definisi sufisme:
1. Sufisme
yaitu paham mistik dalam agama Islam sebagaimana Taoisme di Tiongkok
dan ajaran Yoga di India (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De
Woestijne).
2. Sufisme yaitu aliran kerohanian mistik (mystiek geestroming) dalam agama Islam (Dr. C.B. Van Haeringen).
3. Pendapat yang mengatakan bahwa sufisme/tasawuf berasal dari dalam agama Islam:
Asal-usul
ajaran sufi didasari pada sunnah Nabi Muhammad. Keharusan untuk
bersungguh-sungguh terhadap Allah merupakan aturan di antara para muslim
awal, yang bagi mereka adalah sebuah keadaan yang tak bernama, kemudian
menjadi disiplin tersendiri ketika mayoritas masyarakat mulai
menyimpang dan berubah dari keadaan ini. (Nuh Ha Mim Keller, 1995)
Seorang
penulis dari mazhab Maliki, Abd al-Wahhab al-Sha'rani mendefinisikan
Sufisme sebagai berikut: "Jalan para sufi dibangun dari Qur'an dan
Sunnah, dan didasarkan pada cara hidup berdasarkan moral para nabi dan
yang tersucikan. Tidak bisa disalahkan, kecuali apabila melanggar
pernyataan eksplisit dari Qur'an, sunnah, atau ijma." [11. Sha'rani,
al-Tabaqat al-Kubra (Kairo, 1374)
1. Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar agama Islam:
Sufisme
berasal dari bahasa Arab suf, yaitu pakaian yang terbuat dari wol pada
kaum asketen (yaitu orang yang hidupnya menjauhkan diri dari kemewahan
dan kesenangan). Dunia Kristen, neo platonisme, pengaruh Persi dan India
ikut menentukan paham tasawuf sebagai arah asketis-mistis dalam ajaran
Islam (Mr. G.B.J Hiltermann & Prof.Dr.P.Van De Woestijne).
(Sufisme)yaitu
ajaran mistik (mystieke leer) yang dianut sekelompok kepercayaan di
Timur terutama Persi dan India yang mengajarkan bahwa semua yang muncul
di dunia ini sebagai sesuatu yang khayali (als idealish verschijnt),
manusia sebagai pancaran (uitvloeisel) dari Tuhan selalu berusaha untuk
kembali bersatu dengan DIA (J. Kramers Jz).
Al
Quran pada permulaan Islam diajarkan cukup menuntun kehidupan batin
umat Muslimin yang saat itu terbatas jumlahnya. Lambat laun dengan
bertambah luasnya daerah dan pemeluknya, Islam kemudian menampung
perasaan-perasaan dari luar, dari pemeluk-pemeluk yang sebelum masuk
Islam sudah menganut agama-agama yang kuat ajaran kebatinannya dan telah
mengikuti ajaran mistik, keyakinan mencari-cari hubungan perseorangan
dengan ketuhanan dalam berbagai bentuk dan corak yang ditentukan agama
masing-masing. Perasaan mistik yang ada pada kaum Muslim abad 2 Hijriyah
(yang sebagian diantaranya sebelumnya menganut agama Non Islam, semisal
orang India yang sebelumnya beragama Hindu, orang-orang Persi yang
sebelumnya beragama Zoroaster atau orang Siria yang sebelumnya beragama
Masehi) tidak ketahuan masuk dalam kehidupan kaum Muslim karena pada
mereka masih terdapat kehidupan batin yang ingin mencari kedekatan diri
pribadi dengan Tuhan. Keyakinan dan gerak-gerik (akibat paham mistik)
ini makin hari makin luas mendapat sambutan dari kaum Muslim, meski
mendapat tantangan dari ahli-ahli dan guru agamanya. Maka dengan jalan
demikian berbagai aliran mistik ini yang pada permulaannya ada yang
berasal dari aliran mistik Masehi, Platonisme, Persi dan India
perlahan-lahan memengaruhi aliran-aliran di daam Islam
(Prof.Dr.H.Abubakar Aceh).
Paham
tasawuf terbentuk dari dua unsur, yaitu Perasaan kebatinan yang ada
pada sementara orang Islam sejak awal perkembangan Agama Islam, Adat
atau kebiasaan orang Islam baru yang bersumber dari agama-agama
non-Islam dan berbagai paham mistik. Oleh karenanya paham tasawuf itu
bukan ajaran Islam walaupun tidak sedikit mengandung unsur-unsur Ajaran
Islam, dengan kata lain dalam Agama Islam tidak ada paham Tasawuf
walaupun tidak sedikit jumah orang Islam yang menganutnya (MH. Amien
Jaiz, 1980).
Tasawuf
dan sufi berasal dari kota Bashrah di negeri Irak. Dan karena suka
mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf), maka mereka
disebut dengan "Sufi". Soal hakikat Tasawuf, ia itu bukanlah ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari
Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu. Menurut Asy Syaikh Ihsan Ilahi
Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode
pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang
keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu
dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As
Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam
sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam ,
dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta
makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan
sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari
kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha" - At
Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28.(Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc).
E. Tokoh tasawuf di Indonesia
Tokoh
–tokoh yang memengaruhi tasawuf di Indonesia yaitu: Syeikh ‘Abdullah
Mubarok bin Nur Muhammad r.a(Abah Sepuh) Pendiri Pondok Pesantren
Suryalaya. Hamzah Al-Fasuri, Nurddin Ar-Raniri, Syekh Abdurrauf
As-Sinkili, [[Syekh Yusuf Al-Makasari]] dan Shohibul Faroji Azmatkhan
Ba'alawi Al-Husaini.
F. Contoh paham
v Kedudukan syariat dalam empat tingkatan spiritual
Syari'at
dalam perspektif faham tasawuf ada yang menggambarkannya dalam bagan
Empat Tingkatan Spiritual Umum dalam Islam, syariat, tariqah atau
tarekat, hakikat. Tingkatan keempat, ma'rifat, yang 'tak terlihat',
sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari kempat
tingkatan spiritual tersebut.
Sebuah
tingkatan menjadi fondasi bagi tingkatan selanjutnya, maka mustahil
mencapai tingkatan berikutnya dengan meninggalkan tingkatan sebelumnya.
Sebagai contoh, jika seseorang telah mulai masuk ke tingkatan (kedalaman
beragama) tarekat, hal ini tidak berarti bahwa ia bisa meninggalkan
syari'at. Yang mulai memahami hakikat, maka ia tetap melaksanakan
hukum-hukum maupun ketentuan syariat dan tarekat.
v Paham kesatuan wujud
Paham
kesatuan wujud adalah paham yang dibawa oleh Ibnu Arabi pada abad ke 3
Hijriah. Tokoh - tokohnya antara lain adalah Ibnu Arabi, Mansur al
Hallaj, dan Jalaludin Rumi. Paham ini ditolak oleh l Ghazali dan Ibnu
Taymiah
G. Kekuatan tasawuf
Tasawuf
merupakan suatu kekuatan. Hal itu karena jiwa kaum sufi tiada harganya
di jalan Allah. Mereka merelakan jiwa mereka untuk menegakan kalimat
tuhan. Mereka membebani diri dengan kepayahan untuk menyebarkan agama
(khususnya) Islam di wilayah-wilayah Afrika dan negri-negri yang belum
di taklukan oleh pasukan Islam. Pengaruh mereka cukup besar dalam
menyebarkan Islam di negri Melayu (Indonesia, Malaysia, Thailand,
Filipina). Juga negri-negri lainnya di dunia.
H. Tasawuf dan ilmu pengetahuan
Ilmu
yang di zaman Yunani kuno diberi citra, bahkan diidentikkan dengan
filsafat. tasawuf sebagai ilmu juga diarahkan untuk kepentingan agama
(Kristiani), baru memperoleh sifat kemandiriannya semenjak adanya
gerakan Renaisessance dan [[Aufklarung]. Semenjak itu pula manusia
merasa bebas, tidak mempunyai komitmen dengan apa atau siapapun (agama,
tradisi, sistem pemerintahan, otoritas politik dan lain sebagainya)
selain komitmen dengan dirinya sendiri untuk mempertahankan kebebasannya
dalam menentukan cara dan sarana menuju kehidupan yang hendak dicapai.
I. Kesenian sufi
Sufisme
telah menyumbang cukup banyak puisi dalam Bahasa Arab, Bahasa Turki,
Bahasa Farsi, Bahasa Kurdi, Bahasa Urdu, Bahasa Punjab, Bahasa Sindhi,
yang paling dikenal mencakup karya dari Jalal al-Din Muhammad Rumi,
Abdul Qader Bedil, Bulleh Shah, Amir Khusro, Shah Abdul Latif Bhittai,
Sachal Sarmast, Sultan Bahu, tradisi-tradisi dan tarian persembahan
seperti Sama dan musik seperti Qawalli.